Senin, 31 Oktober 2011

UPACARA PERKAWINAN DALAM AGAMA HINDU-BUDDHA

UPACARA PERKAWINAN AGAMA HINDU

Pengertian perkawinan
Adalah merupakan ikatan batin antara pria dan wanita yang akan melaksungkan pernikahan.Pengertian ini juga tertera dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1979,pasal 1,yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan tuhan yang maha esa.
Perkawinan atau vivaha dalam agama Hindu mempunyai ari dan kedudukan yang khusus di dalam kehidupan manusia yaitu awal jenjang grhstha.Di dalam kitab Manava Dharmasastra bahwa pernikahan itu bersifat religius(sakral)dan wajib hukumnya,ini dianggap mulia karena bisa memberi peluang kepada anak untuk menebus dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma atau menitis kembali ke dunia.
Syarat-syarat perkawinan
Syarat perkawinan terdiri dari dua faktor,yaitu secara:
  • Batiniah,yaitu:
  1. pernikahan yang berdasarkan cinta sama cinta
  2. mempelai harus agama yang sama
  • lahiriah, yaitu:
  1. faktor usia
  2. bibit,bebet,bobot
  3. tidak terikat oleh suatu perkawinan dengan pihak lain
di dalam masyarakat Hindu,khususnya di Bali, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk perkawinan yang merupakan bentuk pejabaran dari bentuk perkawinan yang diungkapkan dalam Pustaka Manawa Dharmasastra,diantaranya:mempadik,ngerorod,nyentana,melegandang
 Mempadik (meminang), bentuk ini adalah bentuk yan dianggap sebagai paling terhormat .Yang melakukan pinangan ini adalah berasal dari pihak laki-laki (purusa),yang datang memenuhi pihak perempuan(pradhana) dan telah mendapatkan persetujua dari kedua pihak.
mempelai memadik memiliki tatanan sebagai berikut :
ü  Pedewasaan(mencari hari baik)
dari pihak keluarga laki-laki mulai memohon hari baik(dewasa),biasanya memohon kehadapan sulinggih atau  seorang yang sudah biasa memberikan dewasa(Nibakang Padewasaan).
ü  Penjemputan calon pengantin wanita
Pada saat penjemputan ke rumah calon pengantin wanita,dari pihak laki-laki harus diikuti oleh semua keluarga besarnya beserta unsur-unsur prajuru adat(kelihan adat).prajuru dinas(kelihan dinas).Demikian juga dari pihak calon pengantin wanita serta calon pengantinnya.
ü  Ngetok lawang
Sebelum pelaksanaanm ngetok lawang,sang calon pengantin pria mengucapkan beberapa pantun,yang akan bersambut-sambutan pantun oleh calon pengantin wanita.
ü  Cara meleksanakan Yadya Sesa (sagehan)
Taruh sagehan tersebut di bawah,di atas sagehan diisi canang,ditancapkan sebuah dupa yang sudah mengandung api,dengan posisi menghadap ke jalan atau menghadap kedua calon pengantin,lalu mmemercikan tetabuhan dangan beraturan.Adanya tatanan upacara ini adalah mengandung nilai spiritual dan nilai etika dan menghasilkan dikaruniai anak yang sempurna.
ü  Upacara perkawinan.
Tata upacara ini memiliki dua tahapan,yaitu:
  1. 1.      Upacara mekala-mekala,yang berarti “menjadikan seperti kala”yaitu upacara yang dibuat agar identik dengan kekuatan kala(energy yang timbul),agar  kekuatan kala yang bersifat negative bias menjadi kala hita  atau berubah menjadi mutu kedewataan yang disebut”DAIWISAMPAD”
  2. Upacara pekala-kalaan


 Ngerorod(merangkat)
Adalah suatu sistem  orangtua berdasarkan cinta sama cinta namun tidak mendapatkan persetujuan dari salah satu pihak orang tua atau kedua pihak orangtua mereka,tetapi mereka tetap ingin melakukan pernikahan,dengan jalan melarikan calon pengantin wanita ke calon pengantin pria.Sistem perkawinan ini tetap  dianggap sah,karena telah tertera sejak dahulu.
Tata cara pelaksanaan perkawinan ngerorod ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
ü  Pengelukuan(pengandeg)
Setelah dilarikannya pengantin wanita ke rumah calon pengantin pria,maka dari pihak pria mengutus beberapa sanak keluarganya untuk dating ke rumah calon pengantin wanita sambil membawa lampu lenterang yang telah menyala,dengan tujuan untuk memberitahukan kepada pihak orangtua dan calon pengantin wanita,bahwa anak gadisnya tersebut telah menyatakan kawin dengan pria itu.Disaat itu pula sang utusan menunjukkan sehelai surat pernyataan dari si gadis menyatakan diri sudah kawin dengan seorang pria berdasarkan cinta sama cinta.

ü  Penetes
Yaitu prajuru banjar atau kepala lingkungan(kelihan dinas)bersama kelihan adat banjar datang ke rumah calon pengantin setelah ada laporan bhwa ada salah satu warga banjar akan melangsungkan perkawinan.
ü  Tata cara pelaksanaan
Terdapat tiga tatanan dalam pelaksanaan tata cara perkawinan ini yang tidak lain seperti tata cara memadik,yaitu melalui:
  1. Pelaksanaan upacara mekala-kalan
  2. Upacara mejaya-jaya
  3. Upacara pewarang atau mejauman
Berbicara tentang kelangsungan pelaksanaan upacara di atas,tergantung dari persetujuan pihak pengantin wanita

 Nyentana(nyeburin)
     Menurut arti bahasa indonesianya,mungkin sam dengan perkawinan”ambil anak” yaitu mengawini anak laki-laki untuk masuk menjadi anggota pihak keluarga wanita dan tinggal pula di sana.Nyentana dikenal pula dengan sebutan pekidih atau diminta,artinya si laki-laki tersebut diminta menjadu menantu dan meneruskan keturunan pihak wanita.
Perkawinan ini umumnya dilakukan karena si wanita merupakan anak semata wayang dan tidak mempunyai saudara pria.Seandaiya ia melakukan perkawinan secara biasa,maka ia keluar dari keluarganya,sehingga tidak ada lagi yang meneruskan ketueunan keluarga tersebut.
     Adalah perkawinan yang didasarkan atas cinta sama cinta antara kedua pihak.Berdasarkan hukum Hindu di Bali menganut system patrelinial,yaitu bahwa lak-laki adalah hukum kepurusan.



Tata cara pelaksanaan :
Mengenai tata cara pelaksanaan nyetana ini sama hal nya seperti tta cara membadik,jika membadik  calon pengantin pria yang meminag calon pengantin wanita,sedangkan pada nyentana ini caon pengantin pria yang di pinang oleh pengantin wanita serta pelaksanaan perkawinannya pun di laksanakan oleh keluarga pengantin wanita




Bentuk-bentuk perkawinan 
Di dalam tatanan kehidipan agama Hindu,khususnya di Bali memiliki beberapa bentuk perkawinan  menurut petunjuk dari Manawa Dharmasastra Sloka 25-34,yang menyebutkan sebagai berikut:
  1. Brahma Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdsarkan cinta sama cinta,terlebih dahulu dihias.
  1. Daiwa Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdasarkan cinta sama cinta dan sebelum pelaksanaan pernikahannya dihias oleh pendeta.
  1. Arsa Wiwaha
Seorang ayah yang mengawinkan anaknya,dengan menerima mas kawin dari calon pengantin pria berupa dua pasang lembu untuk memenuhi peraturan dharma.
  1.  Prajapati Wiwaha
Mendapatkan calon istri sete;lah mendapatkan restu dari orangtua pihak wanita berupa ucapan mantra yang berisi doa restu sebagai berikut :”semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban-kewajiban bersama-sama”.
Setelah itu  pengantin wanita  memberikan penghormatan kepada calon suaminya.
  1. Asura Wiwaha
Jika pengantin pria menerima  seorang perempuan berdasarkan cinta sama cinta,setelah memberikan mas kawin kepada pengantin wanita berdasarkan kemampuan serta di dorong oleh keinginan sendiri.
  1. Gandarwa Wiwaha
Pertemuan   antara laki-laki dan wanita dan timbul nafsunya untuk melakukan hubungan suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan
  1. Raksasa Wiwaha
Melarikan seorang gadis secara paksa dari rumahnya,sanpai menangis.berteriak-teriak disertai dengah membunuh keluarga dan merusak rumah gadis tersebut
  1. Paisaca Wiwaha
jika laki-laki mencuri-curi,memperkosa wanita yang sedang tidur,sedang mabuk atu bingun

Dengan nemikian bentuk perawinan yang masih dilaksanakan oleh umat Hindu khususnya di Bali adalah dari bentuk perkawinan Brahma Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha.Pustaka Manawa Dharmasastra 39,menyebutkan sebagai berikut :

BRAHMADISU WIWAHESU
            CATURSWEWANUPURWACAH,
BRAHMWARCASWINAH
            JAYANTE CISTASAMMATAH.
Maksudnya :
 Dari sudut macam perkawinan yang diiuraikan  berturut-turut di mulai dari cara Brahma Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha akan lahir putra yang gemilang di dalam pengetahuan weda dan dimuliakan oleh orang-orang budiman.

UPACARA PERKAWINAN DALAM AGAMA BUDDHA

 PERSIAPAN UPACARA PERKAWINAN
1.      Agar dapat dilaksanakan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha maka calon mempelai harus menghubungi pandita agama Buddha dari majelis agama Buddha (misalnya Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) yang mempunyai kewenangan untuk memimpin upacara perkawinan (bukan seorang bhikkhu atau samanera).
Caranya adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia, serta dengan melampirkan :
  1. Dua lembar fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kedua calon mempelai.
  2. Dua lembar fotokopi Akta Kelahiran atau Akta Kenal Lahir dari kedua calon mempelai.
  3. Dua lembar Surat Keterangan dari Lurah setempat tentang status tidak kawin dari kedua calon mempelai (perjaka/duda/gadis/janda)
  4. Surat izin untuk calon mempelai yang berumur dibawah 21 tahun.
  5. Tiga lembar pasfoto berdua ukuran 4 X 6 cm2
2.      Setelah semua syarat dipenuhi dan surat-surat telah diperiksa keabsahannya, maka pengumuman tentang perkawinan tersebut harus ditempel di papan pengumuman selama 10 hari kerja.
3.      Dalam hal perkawinan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja, diperlukan Surat Dispensasi Kawin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat (Tingkat Kecamatan).
PELAKSANAAN UPACARA
A. TEMPAT UPACARA
Upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara,
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
B. PERLENGKAPAN ATAU PERALATAN UPACARA
Persiapan peralatan upacara :
  1. Altar dimana terdapat Buddharupang.
  2. Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
  3. Tempat dupa
  4. Dupa wangi 9 batang
  5. Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
  6. Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
  7. Cincin kawin
  8. Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
  9. Pita kuning sepanjang 100 cm
  10. Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
  11. Surat ikrar perkawinan
  12. Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.

C. PELAKSANAAN UPACARA PERKAWINAN
  1. Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
  2. Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
  3. Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
  4. Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
  5. Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
  6. Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara *)
  7. Pernyataan ikrar perkawinan**)
  8. Pemasangan cincin kawin.
  9. Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
  10. Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
  11. Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
  12. Wejangan oleh pandita.
  13. Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
  14. Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
*)
Pandita pemimpin upacara mengucapkan Namakkara Gatha diikuti oleh hadirin kalimat demi kalimat :
ARAHAM SAMMASAMBUDDHO BHAGAVA
[A-ra-hang Sam-maa-sam-bud-dho bha-ga-waa]

BUDDHAM BHAGAVANTAM ABHIVADEMI
[Bud-dhang Bha-ga-wan-tang Abhi-waa-de-mi)
(Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna;
aku bersujud di hadapan Sang Buddha, Sang Bhagava)
SVAKKHATO BHAGAVATA DHAMMO
[Swaak-khaa-to Bha-ga-wa-taa Dham-mo]
DHAMMAM NAMASSAMI
[Dham-mang Na-mas-saa-mi]
(Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagava;
aku bersujud di hadapan Dhamma)
SUPATIPANNO BHAGAVATO SAVAKASANGHO
[Su-pa-ti-pan-no Bha-ga-va-to Saa-wa-ka-sang-gho]
SANGHAM NAMAMI
[Sang-ghang na-maa-mi]
(Sangha, siswa Sang Bhagava telah bertindak sempurna,
aku bersujud di hadapan Sangha)
**)
Sebelum menyatakan ikrar perkawinan kedua mempelai mengucapkan Vandana :
NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO SAMMA SAMBUDDHASSA
[Na-mo Tas-sa Bha-ga-wa-to A-ra-ha-to
Sam-maa-sam-bud-dhas-sa] (tiga kali)
(Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna)
Catatan :
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I Pasal 2 maka perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab III pasal 3 maka perkawinan (menurut tatacara agama Buddha) dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian atau pegawai catatan sipil).
Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat, maka Pegawai Pencatat dapat diwakili oleh Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis) yang diangkat oleh Gubernur setempat.
Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat maupun Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis), maka pandita yang memimpin upacara perkawinan mengeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang berlaku sebagai bukti bahwa upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha telah dilaksanakan, surat tersebut bersama-sama dengan dokumen pendukung lainnya dibawa ke Kantor Catatan Sipil untuk dicatatkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar